![]() |
Sumber: pixabay.com |
Sosok mertua dan menantu perempuan
dalam layar kaca selalu digambarkan tak pernah akur. Entah itu karena sang ibu
yang kecewa memiliki menantu yang tidak piawai melakukan pekerjaan rumah,
menyesal dengan pilihan putranya akibat sang wanita yang tak kunjung mengandung,
hingga masalah klasik seperti kasih sayang anak yang berat sebelah antara istri
dan sang ibu.
Ketidakharmonisan hubungan mertua
dan menantu pasti pernah terjadi dalam realita kehidupan. Akan tetapi tak
selamanya apa yang tersaji di layar kaca sesuai kenyataan. Banyak juga hubungan
mertua dengan menantu perempuan yang rukun kok. Saya mendapati beberapa
postingan para sahabat di media sosial yang begitu akrab dengan ibu mertuanya.
Duh, rasanya kok, iri, ya. Ada yang posting ibu mertuanya jago mengelola bisnis
kuliner, bumer ciamik menulis buku, aktif di kajian Islam, sampai dengan doyan traveling. Hmm …
bener-bener mertua idaman. Pikiran itu pernah terlintas di benak saya.
Akhirnya pada 2014 saya melepas
masa lajang. Bayang-bayang sosok mertua idaman masih bergelayut dalam benak.
Kala itu, saya belum terlalu mengenal sifat dan karakter ibu mertua karena suami
saya orang luar Jawa. Hal ini menyebabkan pertemuan dengan bumer bisa dihitung
dengan jemari. Alhamdulillah akhirnya setelah resmi menjadi istri, saya diberi
kesempatan oleh Allah untuk mengenal beliau lebih dekat.
Singkat cerita, beberapa bulan
belakangan saya tinggal serumah dengan ibu mertua. Lantas apa yang terjadi?
Apakah beliau mertua idaman seperti yang ada dalam pikiran saya selama gadis
hingga awal-awal berumah tangga? Big no. Sosok ibu mertua impian saya sangat berbeda dengan ibu mertua yang ada di hadapan saya kini.
Beliau orang yang suka keluar rumah, senang mengobrol dengan tetangga, mudah tersentuh, update
fashion, dan ceplas-ceplos. Ibu rumah tangga biasa yang belum melek internet
apalagi kenalan dengan Facebook. Kondisi ini membuat saya kesulitan
mendeskripsikan pekerjaan saya sebagai penulis freelance kepada beliau.
Ibu mertua impianmu? Dulu yaa, ini
dulu. Saya menginginkan seorang ibu mertua yang melek teknologi, sederhana, bisa
jadi teman curhat saya dan tidak akan pernah membocorkan aib atau masalah yang
sangat privasi.
Namun lama-kelamaan saya menyadari
betapa kurang bersyukurnya saya. Menilai ibu mertua tidak sehebat mertua
lainnya. Istighfar berkali-kali terucap. Saya berkaca
Jika saya menilai ibu mertua
bukanlah mertua idaman, lantas saya sendiri bagaimana?
Apakah saya sosok menantu idaman?
Apakah saya orang yang sempurna?
Mungkin saja ibu mertua saya saat
ini juga menyesal dengan mantunya. Menyesal dengan pilihan putranya hehehehe ….
Ya, mantunya tidak terlalu pandai memasak, nggak hobi moles wajah, muka
pas-pasan, masih suka emosian, dan yang jelas nggak asyik diajak jalan-jalan
hehe …. Mantunya demen di rumah sambil ketak-ketik, pergi kalau pas penting
banget. Itupun cuma bedakan, gaes. Lipen entah udah raib dimainin bocah,
apalagi mascara wkwkwkwk *belum pernah pakek sendiri kalo yang inih.
Demikian pandangan saya terhadap
bumer dulu. Kini, semakin mengenal beliau, saya pun kian menyadari bahwa ibu
mertua yang berdiri di hadapan saya adalah sosok terbaik yang Allah
kirimkan. Sosok ibu kedua yang bisa menerima kelebihan serta kekurangan saya.
Tentu saja hubungan kami tidak selalu harmonis. Ada kalanya saya dan bumer
tidak sejalan dan berselisih paham. Akan tetapi, kami tidak saling membenci.
Perbendaan itu wajar. Sekarang saya katakan bahwa saya sangat bersyukur
memiliki beliau.
Update: 28 Januari 2019
Update: 28 Januari 2019
Posting Komentar
Posting Komentar