Prangg! Suara pecahan guci keramik sontak hinggap di telinga. Sumpah serapah, caci maki, saling menyalahkan, bukan hal yang aneh baginya. Panggil saja ia Delima. Bisa dibilang itu makanannya setiap hari sewaktu kecil. Muak? Pasti. Namun ia telan bulat-bulat saja. Sayang, semua yang dialaminya di masa lalu, tak lantas bisa dilupakan.
Anak yang terlahir dari keluarga
tidak utuh cenderung menunjukkan perilaku negatif. Krisis percaya diri,
tertutup, susah mengekspresikan perasaan, menyalahkan diri sendiri atas segala
yang terjadi, over protektif, hingga depresi adalah beberapa contohnya. Bahkan
penelitian di Britania Raya menyebutkan bahwa anak broken home berisiko lima kali lebih besar mengidap gangguan kejiwaan,
penyimpangan perilaku, dan kelainan psikologis, dibandingkan mereka yang
terlahir dari keluarga utuh.
Hasil penelitian ini diamini oleh masyarakat awam atas dasar fakta yang terjadi
di lapangan. Sementara hasil studi lain yang dilakukan oleh para peneliti dari University of New Hampshire Cooperative
Extension, memaparkan bahwa dampak perceraian orang tua terhadap
masing-masing anak akan berbeda-beda tergantung kepribadian, umur, serta
hubungan si anak dengan ayah dan ibunya.
Dampak Psikologis yang Terjadi Pada Anak Broken Home
Tidak dapat dimungkiri bahwa
ketidakharmonisan rumah tangga orang tua akan memengaruhi kehidupan buah hati. Anggapan
bahwa anak broken home adalah “produk
rusak” dengan masa depan suram, menjadi label yang melekat kuat pada si kecil.
Kemarahan dalam diri anak atas perpisahan orang tua, perasaan sendiri, takut,
putus asa, dan tekanan, adalah hal utama yang dirasakan para anak broken home.
Jika dahulu orang-orang memandang
sebelah mata dan menganggap anak broken
home merupakan sampah masyarakat, kini hal itu tidak berlaku lagi. Terbukti
ketika beberapa waktu lalu bergulir berita perpisahan salah satu pasangan
selebriti kondang yang memiliki balita, netizen beramai-ramai mendukung dengan
tagar #savegempi. Langkah ini membuktikan bahwa orang-orang sudah semakin
memahami bagaimana kehidupan anak broken
home, apa yang mereka butuhkan, dan tentu saja lebih mengerti cara
memperlakukan anak-anak dari keluarga tidak utuh supaya bisa menjalani hidup yang
bahagia layaknya orang “normal”.
Untuk bisa memahami perilaku dan
kejiwaan anak broken home, ketahui
dahulu beberapa dampak psikologis yang terjadi pada anak-anak dengan keluarga
tidak utuh berikut ini :
1. Masalah Emosional
Luka
hati tidak dapat disembuhkan dalam sekejap mata. Ungkapan tersebut benar
adanya. Perasaan terluka akibat perpisahan orang tua mampu mempengaruhi emosi
buah hati. Mereka akan cenderung menolak dan menunjukkan ketidaksukaan atas
keputusan berpisah yang diambil ayah dan ibu. Beberapa anak dengan usia yang
lebih besar pun umumnya menunjukkan secara terang-terangan rasa tidak suka
dengan berteriak, melempar barang, hingga melakukan aksi nekat seperti bunuh
diri.
2. Masalah Sosial
Tidak
hanya problem emosional, masalah sosial juga mengintai buah hati dari keluarga
kurang harmonis. Kebanyakan dari mereka kerap kesulitan dalam bersosialisasi,
rendah diri, cemas berlebihan, hingga bertindak agresif dan menjadi pelaku
perundungan kepada teman lain. Dampak yang lebih mengerikan adalah timbulnya
perasaan tidak percaya terhadap suatu hubungan atau bersikap sinis,
seperti disebutkan dalam artikel
berjudul “Parental Divorce and
Adolescents” (Carl E Pickhardt Ph.D,
2009)
3. Hidup yang Mati
Anak-anak
broken home tak lagi merasakan
kehidupan menyenangkan, berenergi, dan bahagia seperti sebelum mereka
dihadapkan pada masalah perpisahan orang tua. Mereka merasa hidup seolah mati.
Tiada gairah hidup dan tak tahu harus melakukan apa ke depan. Di sinilah celah
strategis bagi hal-hal negatif. Ketiadaan pilihan membuat mereka, terutama yang
masih berjiwa labil memutuskan mengikuti ajakan atau seruan buruk yang
menghampiri.
4. Masalah Pendidikan dan Perubahan Dalam Keluarga
Perceraian
orang tua berdampak juga kepada pendidikan buah hati. Kenangan buruk yang
terekam dalam memori, sangat mengganggu aktivitas belajar mereka. Alhasil nilai
mata pelajaran anak pun turun drastis. Ditambah perubahan yang terjadi dalam
keluarga, misalnya, semula segalanya dilakukan bersama ayah-ibu, kemudian kebiasaan
tersebut menghilang. Seakan memulai hidup dari awal. Mau tak mau anak harus
beradaptasi dengan posisi barunya. Sebagai anak tertua, mungkin juga “dipaksa”
menggantikan peran ayah atau ibu yang tidak tinggal serumah lagi.
Broken Home = Trouble Maker?
Pembuat masalah, penyebab
kekacauan. Kekerasan verbal seperti ini sering pula dialami pribadi broken home. Padahal broken home bukan trouble maker. Banyak sisi positif yang mereka tunjukkan, misalnya
:
1. Semangat Mengubah Hidup
Mengalami
hal yang menyedihkan, memicu sebagian anak broken
home untuk mempunyai motivasi yang tinggi dalam membangun keluarga harmonis
serta menggapai masa depan gemilang. Mereka ingin membuktikan, tak akan jatuh
ke lubang yang sama seperti orang tua.
2. Lebih Kuat
Terbiasa
dengan masalah dan tekanan, membentuk pribadi anak broken home lebih kuat, dewasa,
dan tangguh ketika menghadapi problem yang menghadang.
3. Kepedulian Tinggi
Alih-alih
bersikap masa bodoh, sebagian anak broken
home justru memiliki empati dan rasa kepedulian yang tinggi terhadap sesama.
Mereka amat peka dengan segala masalah yang berkaitan dengan hubungan keluarga.
Mereka mampu menjadi teman terbaik sekaligus pelindung kala sahabat atau orang
terdekat mengalami problem di keluarga masing-masing.
Hidup Bahagia Sebagai Anak Broken Home
Menciptakan kehidupan bahagia untuk
anak broken home bisa diwujudkan
dengan langkah-langkah sederhana. Orang tua hanya perlu melakukan komunikasi
yang efektif dan menyenangkan. Sesuaikan bahasa dengan kemampuan serta usia
anak. Berikan pengertian kepada anak terkait penyebab perceraian. Hindari
menutup-nutupi, bicaralah sejujurnya. Ingat bahwa anak juga memiliki hak untuk
tahu apa sebenarnya yang tengah terjadi pada orang tua mereka. Dengan demikian
buah hati bisa berpikir, bersikap, dan merespon lebih positif keputusan orang
tua.
Selanjutnya tetap berikan kasih sayang kepada anak, meski orang tua tidak serumah lagi. Dukung anak melakukan kegiatan positif serta mengembangkan potensinya. Tidak ada salahnya juga memperkenalkan anak dengan komunitas hobi atau komunitas sosial misalnya yang beranggotakan anak-anak dari keluarga broken home. Di samping menambah pertemanan, kehadiran orang-orang “senasib” akan membuat anak nyaman, tidak merasa sendirian. Langkah ini membuat anak terhindar dari pikiran negatif atau terjerumus melakukan tindakan kurang terpuji. Jiwa yang sehat, melahirkan pikiran kreatif, produktif, serta cemerlang. Jadi, kata siapa anak broken home tidak berhak atas masa depan cerah?
Posting Komentar
Posting Komentar